...
Bersambung...
Klik DISINI untuk membaca Jam Saku Rini (Bag. 1)
source image: @glenr
Ia terbangun dari tidurnya.
Padahal jarum jam baru menunjuk pukul dua dini hari tapi itulah yang
menjadi kebiasaannya. Bersujud menghadap tuhan dan berdoa disaat yang lain
larut di alam mimpi. Wanita itu mengerjakan semuanya sendirian. Menjadi ibu
rumah tangga dan bekerja banting tulang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarga kecilnya. Beban hidup yang ditanggungnya ini karena suaminya sudah tiada.
Meninggalkannya bersama seorang anak. Bahkan tangisan anaknya itu membanjiri
lantai rumah tepat tiga tahun yang lalu. Membuat wanita ini ikut larut dalam
kesedihan setiap waktu.
“andai ayah masih ada, pasti tidak akan seperti hari ini. Dunia seperti gelap gulita, Membosankan.”
Rini selalu saja bergumam, tapi tidak lagi sering menangis sekarang. Semenjak
ia bertemu teman masa kecilnya di SMA, satu-satunya orang yang
mau mendengarkan kisah pilu keluarganya, menjalani hidup tanpa seorang ayah.
Adzan maghrib sudah
berkumandang, itu tandanya jam kerja sudah dimulai untuk Rini dan ibunya. Bu
Dinda sedang duduk, kedua tanganya sibuk merias wajah, satu tangan memegang
alat, tangan lainnya membantu. Sedangkan Rini masih saja bergumam, berbicara
dengan cermin. Jika saja cermin itu hidup, ia akan menutup kuping mendengarkan
keluhan Rini setiap hari. Tapi Rini berharap malam ini adalah malam yang indah.
Rini bangkit menyusul langkah
ibunya, tak lupa membawa topeng yang setia menemani setiap pementasannya.
Topeng berwajah ceria, berwarna putih dengan tirus khas wajah Rini. Topeng
adalah barang wajib yang harus dikenakan Rini agar sesuatu yang buruk tidak
pernah terjadi.
Bulan bersinar dengan terangnya.
Disana bintang-gemintang yang gemerlapan menghiasi angkasa malam. Alunan musik
dangdut dimainkan, membentuk suatu lukisan yang harmonis. Penonton bertepuk
tangan saat musik itu berhenti. Dari sisi kanan panggung, Bu Dinda bersama
rekannya maju ke atas panggung dan memberikan salam penghormatan kepada
penonton yang rata-rata adalah para pemuda dan bapak-bapak. Alunan musik
kembali terdengar cukup lambat, kini dua orang penari sedang menunjukkan
kebolehannya. Semua bergerak mengikuti irama musik. Ketipung berpadu
dengan lambaian lembut tangan para penari.
Seorang gadis berkulit putih
terbalut kemben menaiki anak tangga, melangkah penuh keyakinan. Lemah gemulai
bergerak, tetap anggun meskipun ia menari menggunakan topeng. Gerakannya
begitu luwes, menari kesana kemari. Mundur, lalu berputar, maju, kemudian
sedikit membungkuk, menciptakan gerakan indah penari ulung.
Wanita – wanita bersolek
memakai kemben diatas panggung. Wajahnya terpoles make up tebal, bibirnya merah
merekah, terkecuali sang penari bertopeng. Gemulainya lekuk tubuh mereka
menari.
Penonton kembali bertepuk
tangan disertai dengan sorak-sorai tanda kepuasan. Sampai seorang penonton maju
dan naik ke atas panggung, menggoda penari sambil memegang uang di tangan
kirinya. Ia kini mendekati Rini, menari bersama mengikuti irama. Hal ini
memberikan rasa cemas bagi Rini. Meskipun Rini mendapatkan ruang panggung
untuk menari, tapi resah tetap masih miliknya.
Laki – laki tua bau kencur itu
terus mendekati Rini. Tiba – tiba tangannya mulai nakal menyentuh kulit Rini
dengan kasar. Ketika tiba-tiba pria tersebut menyentuh topeng yang
menyembunyikan wajah cantik Rini, spontan tangan penari itu melayang tepat
mendarat di pipi laki laki bau kencur. Semua orang terkejut melihatnya. Namun
suara ketipung masih saja bertalu-talu. Tidak menunggu lama Rini pun segera beranjak pergi meninggalkan kerumunan.
Di belakang pintu kamar Rini
menerawang jauh. Mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Tak pernah
terlintas sedikitpun di pikiran untuk memukul siapapun tapi, laki-laki tadi
sangat menyebalkan. Ia sedih dan melamun lama sekali. Menyadari bahwa dunia di
sekitarnya lambat laun semakin berubah. Menerima kenyataan bahwa Rini hidup di
lingkungan yang tidak mengenal etika dan moral, terlebih lagi mereka selalu
merendahkan sosok seorang wanita.
Rini dan sunyi berebut diam. Berhari-hari
Rini mengurung diri di kamar, takut laki-laki bau kencur di pertunjukkan
kemarin menghampirinya. Sekedar menggoda atau balas dendam. Itupun kalau
hanya laki laki bau kencur itu yang datang. Bisa saja semua laki laki di desa
datang menghampiri Rini setelah melihat pesona wajah cantiknya malam itu.
Rini mencoba meyakinkan diri
bahwa hal yang lebih buruk dari malam itu tidak akan terjadi. Hingga akhirnya Ia
memilih untuk pergi. Keputusannya sudah bulat. Dengan berat hati ia
meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan Ibunda. Ia ingin pergi kemana pun asal
bisa merasa aman. Hal terpenting saat ini adalah terus melangkah menuju rumah
Aldo. Ia adalah teman dekat Rini sejak masih kecil. Rini menaruh harapan pada Aldo. Ia adalah pria dewasa
yang nyaris sempurna. Pria yang selama
ini melindungi Rini dan membagi kisah bersama.
Rini berlari secepat angin. Menutupi
dirinya dengan kain dan bersembunyi setiap ada kerumunan, lalu berlari lagi.
Rini seperti membenci dunia sekarang. Sudut pandangnya mulai berubah sejak
kepergian sang ayah. Ia hanya meninggalkan secuil kertas di atas meja kamarnya,
mengaku ingin pergi dari desa sejenak untuk menjauh dari masyarakat desa yang
sungguh menyedihkan. Seketika ingatannya kini kembali terbang saat melihat jam
saku warisan ayahnya di genggaman tangan. Kepada penunjuk waktu itu Rini selalu
menceritakan lika-liku hidupnya seolah ia berbicara langsung dengan ayah. Ia
masih berlari. semakin jauh dari desa.
Bersambung...
Penjelasan:
source image: @glenr